Lompat ke isi utama

Berita

Pantau Pilur, Ini Sejumlah Usulan Perbaikan Mekanisme Pilur dari Sahabat Pengawas Partisipatif Bawaslu

Pantau Pilur, Ini Sejumlah Usulan Perbaikan Mekanisme Pilur dari Sahabat Pengawas Partisipatif Bawaslu

Penyelenggaraan Pemilihan Lurah (Pilur) Serentak Tahun 2021 melalui elektronic voting (e-voting) telah selesai dilaksanakan di 33 Kalurahan di Kabupaten Sleman, Minggu, 31 Oktober 2021. Sebagai wujud kontribusi bagi perbaikan dan pembangunan sistem demokrasi di tingkat lokal, kader pengawas partisipatif yang tergabung dalam SAPPA (Sahabat Pengawas Partisipatif) bekerjasama dengan Bawaslu Kabupaten Sleman melakukan pemantauan dan riset penyelenggaraan Pilur di Sleman. Hasilnya, ada sejumlah usulan perbaikan regulasi terkait desain kelembagaan Pilur dan desain mekanisme keadilan dalam penyelenggaraan Pilur.

Riset dilakukan di 9 kalurahan dengan melibatkan sekitar 20 responden. Responden dibagi dalam 3 kategori, yakni panitia pilur di tingkat desa dan KPPS, tokoh masyarakat, dan perwakilan calon lurah. “Metodologi riset ini lebih pada penelitian kualitatif, jadi kami mendeskripsikan berbagai tanggapan dari para responden terkait dengan desain kelembagaan dan desain mekanisme keadilan dalam Pilur,” kata Ketua SAPPA Sleman, Yohan Dwi Apriyanto Sutan IX, Selasa, 2 November 2021.

Yohan mengatakan, dari seluruh pandangan yang disampaikan responden, setidaknya ada beberapa usulan perbaikan desain penyelenggaraan Pilur ke depan, terutama desain kelembagaan dan desain mekanisme sarana ataupun mekanisme penegakan keadilan dalam Pilur. Untuk desain kelembagaan, pandangan yang mengemuka terkait pentingnya kehadiran lembaga khusus yang mengawasi Pilur, semacam lembaga pengawas di Pemilu dan Pemilihan Bupati (Pilbup). Saat ini, lembaga penyelenggara Pilur hanya satu model lembaga penyelenggara yang dibentuk secara berjenjang dari kabupaten hingga TPS di bawah koordinasi panitia penyelenggara kabupaten. Lembaga ini yang membuat regulasi, mengawasi regulasi, sekaligus menjatuhkan sanksi bila ada pelanggaran Pilur, khususnya yang bersifat administratif. Model seperti ini tentu sangat menyulitkan dan adanya tumpang tindih kewenangan. Sementara dalam pemilu maupun pilkada, lembaga penyelenggara dibuat terpisah, mulai dari lembaga penyelenggara teknis, lembaga pengawas, hingga lembaga yang menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Untuk panitia pilur tingkat kabupaten memang perlu dikaji lebih lanjut untuk menentukan formulasi independensi lembaga penyelenggaraan pilur agar sesuai dengan model konsep lembaga pemilu independen yang sudah cukup banyak dibahas oleh para pemerhati dan akademisi kepemiluan.

Sementara, terkait mekanisme penegakan keadilan dalam Pilur, lanjut Yohan, ada beberapa usulan terkait perbaikan model penerimaan laporan dugaan pelanggaran, mekanisme penanganan pelanggaran, dan model penyelesaian dugaan pelanggaran Pilur. Terkait model laporan dugaan pelanggaran, selama ini laporan disampaikan kepada panitia pilur tingkat desa. Bila nanti disepakati dibentuknya lembaga pengawas khusus dalam pilur oleh Undang-Undang, sebaiknya pelaporan dugaan pelanggaran disampaikan kepada lembaga pengawas sehingga proses penanganannya bisa lebih optimal. Namun, ada juga sejumlah responden yang belum mengetahui bagaimana proses pelaporan dugaan pelanggaran pilur karena minimnya aturan yang ada di tata tertib panitia pilur dan regulasi terkait.

Untuk model mekanisme penanganan pelanggaran, responden mengakui belum adanya aturan yang rinci, termasuk mengidentifikasi apakah pelanggaran itu merupakan pelanggaran administrasi, pidana, etik, atau pun pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya. Selama ini, aturan yang ada di UU maupun peraturan daerah (perda) masih terbatas pada pelanggaran yang bersifat administrasi dan itupun tidak terlalu rinci. Regulasi belum mengatur adanya sanksi pidana dalam penyelenggaraan pilur, termasuk soal pelanggaran politik uang. Pelanggaran terkait potensi pidana lazimnya langsung diserahkan kepada pihak kepolisian.

Sementara, Wakil Ketua SAPPA Sleman, Rizky Dena Safira mengatakan, terkait model penyelesaian dugaan pelanggaran ada sejumlah usulan yang ditawarkan oleh responden. Salah satu usulan yang mengemuka terkait penyelesaian dugaan pelanggaran yang diawali dengan proses musyawarah mufakat di tingkat kalurahan dengan melibatkan seluruh pihak terkait. “Mungkin nanti outputnya secara administratif bisa didesain berupa putusan kesepakatan bersama yang derajatnya nanti tetap berkekuatan secara hukum sehingga asas kepastian hukumya tetap terpenuhi,” kata Dena.

Ketua Bawaslu Kabupaten Sleman, M. Abdul Karim Mustofa mengatakan, hasil riset bersama ini nanti secara resmi akan disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Sleman, khususnya Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kalurahan. “Semoga ini nanti bisa menjadi bahan masukan bagi pemkab dan semoga juga bisa diteruskan ke pemerintah RI sebagai usulan untuk revisi UU Desa, khususnya yang terkait dengan model penyelenggaraan pemilihan kepala desa,” ujarnya. (*)